LegendaGunung Dieng tidak dapat dilepaskan dari sebuah legenda tentang misteri anak bajang, yaitu anak-anak yang memiliki rambut gimbal. Cerita yang berkembang di masyarakat sekitar Gunung Dieng adalah dimana anak bajang yang memiliki rambut gimbal tersebut merupakan titisan dari Kyai Kaladete yang dikenal sebagai seorang yang memiliki kesaktian dan selalu membela masyarakat kecil yang hidup
Denganmengunjungi situs-situs bersejarah di dataran tinggi Dieng ini, kamu dapat mempelajari pola hidup manusia di zaman dahulu yang telah mengenal arsitektur yang sarat akan nilai filosofi dan spiritual. Waktu terbaik untuk berkunjung ke kompleks Candi Arjuna di dataran tinggi Dieng ini adalah saat musim kemarau, sekitar antara bulan Mei
Nyamukdemam berdarah yang sebelumnya hanya hidup di wilayah dengan ketinggian di bawah 10.000m, belum lama ini dijumpai di pegunungan Andes di Colombia dengan ketinggian sekitar 23.000m di atas permukaan laut. 4.3.6. Pemanasan Air Laut. Pemanasan bumi menaikkan suhu air Taut danberkonsekuensi terhadap terjadinya badai dan angin topan di laut.
ADVERTISEMENT Melansir dari buku Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Paket B Tingkatan III Modul Tema 2 yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berikut karakteristik dan pola hidup masyarakat dataran tinggi: 1. Mata Pencaharian. Masyarakat daerah dataran tinggi pada umumnya memanfaatkan alam sekitarnya sebagai sumber mata pencaharian.
Salahsatu kewajiban manusia adalah menjaga lingkungan alam. Salah satunya melalui konservasi lingkungan alam. Karena daerah dataran tinggi pada umumnya memiliki udara yang bersih, sejuk, dan segar. Contohnya dataran tinggi Dieng, di Wonosobo Jawa Tengah. 5. Masyarakat Dataran Rendah. Kita harus membiasakan pola hidup bersih dan sehat
Didalam analisis Disusun oleh: Salmani, ST, MS, MT. f86 DIKTAT ILMU LINGKUNGAN dampak lingkungan memang sebaiknya arti dampak diberi batasan: perbedaan antara kondisi lingkungan yang diperkiraan akan ada tanpa adanya pembangunan dan yang diperkirakan akan ada dengan adanya pembangunan.
Kebijakanyang berkaitan dengan tata kelola wisata di Dataran Tinggi Dieng adalah Keputusan Bersama No. 485 Tahun 2002 dan No. 17 Tahun 2002 Bupati Banjarnegara dengan Bupati Wonosobo tentang Kerjasama Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Dataran Tinggi Dieng dan Peraturan Gubernur No. 5 Tahun 2009 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup di
qBsxS. Dataran tinggi Dieng adalah objek wisata yang menarik hati. Ada banyak candi serta tempat asyik untuk dikunjungi demi refreshing. Mulai dari pemandian air panas, savana, sampai menuju gunung tetapi, tahukah kamu kalau dataran tinggi Dieng yang berada di mdpl ini dulunya merupakan gunung besar yang bahkan lebih tinggi dari Gunung Sindoro? Berikut ini beberapa Gunung Dieng merupakan gunung kuno yang sudah pasifPemandangan gunung yang bisa dilihat saat menuju ke Dieng. IDN Times/Abraham HerdyantoKalau kamu pernah berkunjung ke Dieng, kemungkinan besar kamu pernah mengunjungi kawah-kawah yang ada di sana. Mulai dari Kawah Sileri sampai Kawah Sikidang. Keberadaan kawah-kawah ini menunjukkan bahwa Dieng berada di area gunung berapi. Belum lagi masih ada aktivitas letusan di Yuliawan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika BMKG Dieng menjelaskan walaupun ada aktivitas gunung berapi tersebut, tidak berarti Dieng berada di kawasan gunung berapi aktif. Situasi ini bisa dilihat dari letusannya yang tak lagi berupa lava, melainkan gas. “Gunung Dieng masuk dalam kategori gunung tua. Itu menjadikan tekanan magma di sini sudah lemah. Ia tidak ada potensi meletus seperti Gunung Merapi atau Gunung Kelud yang meletus di 2014,” terang Aziz menjelaskan aktivitas gunung berapi di dataran tersebut. Diperkirakan pada zaman dulu, Gunung Dieng jauh lebih tinggi dan punya ledakan yang mengerikan. Jika dibandingkan dengan letusan Gunung Merapi pada 2004, yang memiliki volcanic explosion index VE di angka empat, kekuatan gunung Dieng jauh lebih kuat. Hal tersebut diperkirakan dengan ditemukannya spesimen batuan vulkanis milik gunung itu yang ditemukan di Semarang. “Kalau melihat diameter bukit yang mengeliling Dieng, kamu bisa membayangkan sendiri betapa tinggi dan kuat Gunung Dieng ini. Bahkan tingginya bisa melebihi Gunung Sindoro,” terang pengawas aktivitas vulkanik Dieng tersebut. 2. Terdapat monumen bencana alam di sanaMonumen bencana alam yang terletak di Dieng. IDN Times/Abraham HerdyantoDalam artikel situs Gunung Dieng masuk dalam kategori gunung api tipe A, yaitu gunung api yang punya catatan sejarah letusan sejak 1600. Tidak ada sejarah yang detail terkait hal ini, namun terdapat monumen bencana alam di sana yang memberikan catatan aktivitas letusan pada abad monumen bencana tersebut, terdapat catatan mengenai tahun terjadinya bencana, lokasi, bentuk dari bencana tersebut, hingga jumlah korban. Berdasarkan catatan jumlah korban tewas di monumen itu, bencana paling mematikan terjadi pada 1954 di Kawah Sileri yang sampai menewaskan 450 jiwa. Hal itu disebabkan adanya longsor yang membumiratakan satu desa. “Yang paling lama catatan bencana di monumen ini adalah 1776. Catatan itu diambil dari dokumen lama Belanda, membuktikan bahwa di masa lalu Dieng pernah meletus hebat,” ujar Dhimas Ferdhiyanto, guide dari Dieng Travel yang menemani saat menjelajahi Dieng. 3. Mengenang kembali tragedi Kawah SinilaBeberapa kawasan di Dieng yang dilarang untuk disinggahi. IDN Times/Abraham HerdyantoDari seluruh bencana yang tercatat, satu tragedi yang paling dikenang penduduk setempat adalah tragedi Kawah Sinila. Bencana alam yang terjadi pada 1979 ini menewaskan 149 orang. Bukan karena gempa, bukan karena longsor, bukan pula karena letusan lava, melainkan karena tercekik gas penduduk desa Kepucukan merasakan gempa bumi akibat letusan gunung Sinila hingga membuat mereka segera melakukan evakuasi ke arah timur yang morfologi permukaannya lebih tinggi. Saat melakukan perjalanan evakuasi, penduduk desa terjebak akibat terputusnya jembatan di sana akibat lahar Sinila yang desa Kepucukan pun kembali ke desanya untuk berkumpul sementara dan terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok berisi 147 warga memilih mengungsi ke arah selatan yang merupakan pusat keramaian. Mereka tidak tahu bahwa di area tersebut terdapat lembah yang dapat menjebak gas beracun dan tiba di lembah tersebut, para warga mulai tercekik akibat gas beracun tersebut dan tak sadarkan diri. Dua warga Batur yang bersedia menjadi relawan mencoba membantu dan menyelamatkan warga tersebut. Akan tetapi kedua orang itu juga terjebak dan meninggal di sana. Total korban tragedi Kawah Sinila menjadi 149 orang. Baca Juga 11 Orang Pertama yang Sukses Mendaki Puncak Gunung Tertinggi 4. Tak adanya edukasi vulkanologi pada saat itu yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa saat bencana alamPemandangan dari atas Kawah Sikidang IDN Times/Abraham HerdyantoMenurut pengamatan Aziz, tragedi ini terjadi akibat belum adanya edukasi akan bahaya letusan gunung berapi saat itu. “Sebelum tragedi Kawah Sinila, kejadian terakhir terjadi pada 1928. Jauh waktunya dari kemunculan penduduk Kepucukan.” Aziz menjelaskan lebih lanjut bagaimana kemunculan gas beracun itu. Berdasarkan informasi Aziz, letusan gas keluar dari celah-celah yang ada di permukaan tanah. Saat mengalami tekanan dan panas yang tinggi, gas tersebut akan mencari celah untuk keluar. Hal ini yang menyebabkan keluarnya gas beracun. “Untuk sekarang, kita bisa mengetahui titik-titik mana saja yang celah permukaannya lemah dan kawah-kawah itu salah satunya.” Kondisi Dieng saat berkabut di petang hari IDN Times/Abraham HerdyantoSeperti air, gas mengalir dari atas ke bawah. Saat berada di ketinggian, gas-gas beracun itu tentu akan menuruni lereng bukit. Dalam kasus tragedi Kawah Sinila, lembah menjebak dan mengumpulkan gas tersebut. Belum lagi tak ada sinar matahari yang sebenarnya mampu membuaikan dan menetralkan gas beracun alasan mengapa Dieng tak memiliki wisata malam. Tujuannya tak lain untuk menghindari jatuhnya korban jiwa akibat keracunan gas. “Sangat susah membedakan mana yang kabut, mana yang gas beracun. Secara warna pun tak ada perbedaan,” ujar anggota BMKG Masyarakat Dieng hidup di atas dua sistem gunung berapiDiorama dataran tinggi Dieng yang menunjukkan sistem gunung berapi di sana. IDN Times/Abraham HerdyantoPermasalahan bencana alam yang dialami penduduk Dieng bukanlah tanpa sebab. Tidak seperti penduduk gunung lainnya yang tinggal di lereng gunung, Aziz menjelaskan bahwa tempat tinggal penduduk Dieng berada di atas sistem gunung berapi. Itu yang menjadikan mengapa Dieng cukup sering mendapatkan letusan gunung berapi yang ditinggali warga Dieng tak hanya satu, melainkan dua sistem. Satu sistem datang dari Gunung Butak Butaran dan satu lagi dari Gunung Dieng. “Ini yang menjadikan beberapa titik di Dieng ada yang banyak mengalami letusan, sedangkan di titik lainnya tidak. Kalau dilihat, area baratlah yang lebih banyak mengalami letusan.”Permasalahan letusan ini disebabkan oleh tidak stabilnya geotermal pada sistem gunung berapi. Untuk kasus Dieng, ada banyak faktor yang mempengaruhi. Mulai dari aktivitas tektonik guncangan gempa yang besar, longsor pernah terjadi pada 2009 di kawasan Sikidang dan Patak Banteng, serta aktivitas manusia debris pembentukan kebun masuk ke kawah.6. Di sisi lain, hidup di gunung berapi juga menguntungkan wargaPemandangan perkebunan kentang di salah satu area Dieng. IDN Times/Abraham HerdyantoHidup di atas sistem gunung berapi tidak sepenuhnya buruk bagi warga Dieng. Banyak manfaat lain yang didapat oleh mereka. Selain bisa menjadi objek wisata dataran tinggi, penduduk Dieng mendapatkan tanah yang selalu subur dan cukup mudah ditanami berbagai jenis terbukti dengan adanya kebun kentang di area Kawah Sileri. Tak hanya itu, mereka juga mampu menanam buah carica, buah pepaya gunung yang menjadi ciri khas warga Dieng, yang hanya bisa ditanam di beberapa lokasi di dari agrikultur, masyarakat Dieng juga mampu menciptakan wisata pemandian air panas alami. Air panas itu tercipta akibat keberadaan uap panas hasil aktivitas vulkanik di sana. Warga Dieng juga berhasil memanfaatkan uap panas itu sebagai tenaga pembangkit sebagai berkah, entah sebagai musibah, yang jelas warga Dieng hidup beriringan dengan aktivitas gunung berapi. Cobalah pergi ke sana dan mengamati kawah-kawah di sana. Kamu bisa belajar banyak seputar sains di objek wisata tersebut. Baca Juga 4 Gunung di Indonesia yang Letusannya Berdampak ke Seluruh Dunia
Kawasan Dieng yang berada di wilayah Kabupaten Banjarnegara, Wonosobo, dan Batang merupakan kawasan yang memiliki sejarah geologi panjang Kini, dengan proses geologi yang ada memunculkan belasan kawah dan telaga yang tersebar di sejumlah tempat Meski kini banyak yang dijadikan obyek wisata, tetapi secara rutin Pos Pengamatan Gunung Api Dieng melakukan pemantauan. Sebab, kawah masih memungkinan meletus dan mengeluarkan gas beracun Dengan kekayaan sejarah geologi, kultur dan hayati, Dieng sempat dibicarakan agar supaya menjadi Geopark Kabut dan temperatur dingin menjadi sebuah kewajaran sehari-hari di kawasan Pegunungan Dieng yang berada di perbatasan antara Banjarnegara, Wonosobo, dan Batang, Jawa Tengah. Tidak mengherankan, kalau masyarakatnya juga beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Sarung, penutup kepala, dan di rumah dipastikan mempunyai tungku untuk pemanas sebagai hal yang wajib bagi penduduk Dieng. Tidak hanya alamnya yang indah, Dieng masih menyisakan belasan kawah aktif yang terbesar di tiga kabupaten. Pos Pengamatan Gunung Api Dieng mencatat, di Wonosobo ada kawah Pakuwaja dan Sikendang, kemudian di Batang ada Kawah Gerlang, Wanapriya, Wanasida, Sibanger dan Siglah. Sedangkan paling banyak, kawah masuk wilayah administratif Banjarnegara, meliputi kawah Sinila, Timbang, Candradimuka, Sileri, Pager Kandang, Sikidang, Bitingan, dan Sibanteng. Dalam buku Anne S Troelstra yang terbit tahun 2016 berjudul Bibliography of Natural History Travel Narratives dituliskan bahwa Franz Wilhelm Junghuhn 1909-1864 berkebangsaan Jerman itu telah menjelajah Dieng sekitar tahun 1850-an. Junghuhn sangat berjasa sebagai peneliti dari berbagai perspektif mulai ilmu bumi, vulkanologi, geologi dan botani. Dari awal eksplorasi itulah, kemudian belakangan banyak ahli yang melakukan riset bagaimana terbentuknya kawasan di Dieng. baca Mengapa Embun Beku Dieng Muncul Lebih Dini? Kawasan Kawah Sikidang, salah satu kawah yang masih aktif di pegunungan dieng, Banjarnegara, Jateng. Foto L Darmawan/Mongabay Indonesia Dari referensi di situs resmi Badan Geologi Kementerian ESDM dan Forum Geosaintis Muda Indonesia FGMI menyebutkan, pembentukan pegunungan Dieng berdasarkan umur relatif, sisa morfologi, tingkat erosi, hubungan stratigrafi dan tingkat pelapukan. Dalam pembentukan pegunungan Dieng, ada tiga episode yakni formasi pra pra kaldera, episode kedua kaldera, dan episode ketiga aktivitas gunung api. Pada episode formasi pra kaldera, produk piroklastik Rogo Jembangan menutupi daerah utara dan selatan kompleks, kemungkinan terbentuk pada Kuarter bawah. Kawah Tlerep yang berada di batas timur terbuka ke arah selatan membentuk struktur dome berkomposisi “hornblende” andesit. Krater vulkanik Prau ke arah utara dari Tlerep. Prau vulkanik menghasilkan endapan piroklastik dan lava andesity basaltis. Fase awal ini terjadi letusan besar dari Gunung Dieng yang menimbulkan Depresi Batur sebagai kaldera raksasa dataran tinggi dieng. Sisa morfologi yang paling terlihat adalah dengan adanya morfologi Gunung Prau sebagai salah satu pagar dari kaldera tersebut. Sedangkan episode kedua merupakan aktivitas vulkanik yang berkembang di dalam kaldera. Di antaranya adalah Gunung Bisma, kawah tertua yang terpotong membuka ke arah barat. Kemudian Gunung Seroja dengan usia yang lebih muda dengan tingkat erosi selope yang kurang kuat, lalu Gunung Nagasari merupakan gunung api komposit berkembang dari utara ke selatan berada di Dieng, Kecamatan Batur. Selanjutnya adalah Gunung Palangonan dan Merdada, memiliki kawah ke arah timur, masih memperlihatkan morfologi muda. Ada juga Gunung Pager Kandang yang memiliki kawah pada bagian utara, Gunung Sileri merupakan kawah preatik, Gunung Igir Binem merupakan gunung api strato dengan dua kawah dan disebut sebagai Telaga Warna serta kawasan Gunung Gringo-Petarangan yang berada di daerah depresi Batur. Letusan kedua menimbulkan terbentuknya morfologi tinggian yang menjadi perbukitan kerucut vulkanik dan morfologi rendahan akibat depresi membentuk suatu cekungan. Perbukitan vulkanik yang dihasilkan membentuk beberapa bukit yang sering dikenal sebagai Bukit Sikunir, Gunung Pakuwaja, Gunung Bisma dan Komplek Batu Ratapan Angin. Kemudian dari morfologi rendahan yang dihasilkan terisi oleh air yang membetuk beberapa telaga yang kita kenal sebagai Telaga Warna, Telaga Pengilon, Telaga Menjer, Telaga Cebong, Telaga Merdada, Telaga Dringo, Telaga Sewiwi Sementara pada episode ketiga adalah fase aktivitas gunung api yang menghasilkan lava andesit biotit, jatuhan piroklastik, dan aktivitas hidrotermal. Ada sembilan titik erupsi di kaldera Dieng yang menghasilkan lava dome dan lava flow biotit andesit. Seperti di Sikidang dan Legetang, Pakuwaja, Sikunang, Dome Perambanan dan lainnya. baca juga Purwaceng “Viagra of Java” Hanya Hidup di Dieng. Benarkah? Kawasan datar di wilayah Bukit Pangonan, kawasan dieng, Jateng. Foto L Darmawan/Mongabay Indonesia Para ahli vulkanologi juga mencatat bahwa dataran tinggi Dieng terjadi sejak 3,6 juta tahun yang lalu sampai sekitar tahun silam. Ada fase meletusnya Gunung Prau, kemudian disusul letusan-letusan di wilayah kaldera, serta paling muda mulai tahun lalu berupa letusan kerucut vulkanik di bagian selatan Dieng. Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Dieng, Surip, mengatakan kawah-kawah yang masih aktif di dataran tinggi Dieng harus terus dipantau oleh pos pengamatan. Ada belasan kawah yang harus dipantau. “Kami memantau kawah-kawah di wilayah tiga kabupaten yakni Batang, Wonosobo, dan Banjarnegara. Laporan harian biasa kami buat,” katanya. Meski ada sejumlah kawah yang dibuka untuk destinasi wisata, tetapi pos pengamatan harus terus melakukan pemantauan, karena kawah tersebut masih tetap aktif. Bahkan, kadang ada letusan meski sifatnya freatik. Kejadian terakhir adalah letusan Kawah Sileri pada April 2018 lalu. Letusan itu kecil, hanya menjangkau sekitar 100-200 meter sekitar kawah. Letusan yang sama terjadi pada 2 Juli 2017 yang membuat sejumlah wisatawan luka-luka. Menurut Surip, yang lebih perlu diwaspadai dari kawah-kawah aktif di dataran tinggi Dieng, adalah gas beracun. Kalau letusannya, sifatnya hanya freatik dan bukan erupsi yang besar. Berdasarkan data dan sejarah letusan, sejumlah kawah di Dieng berkali-laki meletus. Tetapi paling besar dampaknya, berdasarkan sejarah yang tercatat adalah letusan Kawah Sinila yang menyemburkan gas beracun pada 20 Februari 1979. Setidaknya 149 korban meninggal kala itu. menarik dibaca Mengikuti Ritual Pemotongan Rambut Gimbal di Dieng, Ini Ceritanya Pagi di salah satu perbukitan di Kawasan Dieng, Jateng. Foto L Darmawan/Mongabay Indonesia Selain itu, gempa bumi dan letusan yang terjadi di Kawah Sileri pada 1944 menyebabkan 59 orang meninggal, 38 luka-luka dan 55 orang hilang. Korban jiwa juga tercatat ketika terjadi letusan di Kawah Batur pada tahun 1939 dengan korban jiwa 5 orang. Data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi PVMBG mencatat sejarah letusan sejak tahun 1450 di Pakuwaja. Selain Pakuwaja, Sinila, Batur, dan Sileri ada beberapa kawah lain yang pernah meletus yakni Sikidang, Siglagak, Candradimuka atau Telaga Dringo, Kawah Dieng Kulon dan Kawah Sibanteng. “Sampai sekarang, gas beracun menjadi salah satu ancaman dari kawah-kawah di Dieng. Sedikitnya ada tiga gas yang keluar dari kawah yakni CO2, H2S dan SO2. Sampai sekarang, kami juga memantau kadar gas yang keluar dari kawah,”jelas Surip. Surip mengatakan masing-masih kawah memiliki kamar magma sendiri-sendiri, sehingga meski berdekatan, kawah yang satu tidak terpengaruh aktivitasnya dengan kawah lainnya. “Telah beberapa kali terjadi, misalnya Kawah Sibanteng meletus, tetapi Kawah Sikidang yang hanya berjarak 100 meter tidak ada persoalan. Sehingga kemungkinan memang masing-masing kawah mempunyai kamar magma yang berbeda. Jadi pengamat di sini harus paham benar masing-masing kawah, karena memiliki karakteristik,”ujarnya. Secara rutin, pos pengamatan terus memberikan informasi kepada para pengelola wisata, khususnya di kawah yang dikunjungi wisatawan. Bahkan, jika ada yang aktif, maka kemungkinan kawah akan ditutup, atau pengunjung tidak boleh mendekat dalam radius tertentu. baca juga Kopi Ini Sukses Satukan Ekonomi, Konservasi dan Mitigasi Kawasan Dieng, Jateng, juga kaya potensi panas bumi. Foto L Darmawan/Mongabay Indonesia Beberapa waktu lalu, sempat muncul ide mengenai kawasan Dieng menjadi Geopark kelas dunia. Bahkan, sejumlah pertemuan pernah melakukan pembahasan soal usulan itu. Meski sampai sekarang belum ada kelanjutannya lagi. Dieng menjadi kawasan yang kaya akan budaya, hayati, dan sejarah geologi. Itulah mengapa banyak pihak yang berharap jika Dieng jadi Geopark dunia. Ketua Pokdarwis Dieng Pandawa Alif Faozi mengungkapkan sebetulnya sudah cukup lama ada ide mengenai Dieng yang akan dijadikan Geopark. “Dan sebenarnya Geopark akan menjadi brand’ yang memiliki kelebihan karena disebut sebagai taman bumi. Bagi kami, tentu sangat mendukung adanya ide tersebut. Hanya saja, perlu ada koordinasi dari seluruh pelaku kepentingan,” katanya. Konsep Geopark di Dieng itu sama dengan misi Dieng Pandawa yang mengusung “sustainable tourism”. “Karena itu saya kira harus diperkuat juga manajemen tata kelola obyek wisata yang ada di Dieng agar bisa saling bersinergi. Jangan sampai belum sinerginya pengelola wisata akan menjadi bumerang bagi brand’ Geopark,” ujarnya. Artikel yang diterbitkan oleh
Dataran tinggi Dieng atau Plato Dieng adalah sebuah wilayah di pusat Jawa Tengah yang memiliki ciri geologi, sejarah, dan pertanian yang dinilai khas.[oleh siapa?] Dataran ini diapit oleh jajaran perbukitan di sisi utara dan selatannya, yang berasal dari aktivitas vulkanik yang sama dan disebut Pegunungan Dieng. Pegunungan Dieng sendiri secara geografis berada di antara kompleks Puncak Rogojembangan di sebelah barat dan pasangan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing di sisi timurnya. Secara kasar dapat dikatakan bahwa wilayah Dataran tinggi Dieng menempati kawasan berukuran lebar utara–selatan 4–6 km dan panjang barat–timur 11 km.[1] Dieng saat matahari terbit Secara administrasi, dataran tinggi Dieng berada dalam wilayah Kecamatan Batur dan sebagian Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, dan bagian selatan dari Desa Pranten, Bawang, Kabupaten Batang, dengan inti kawasan wisata berada pada wilayah Desa Dieng Kulon di Banjarnegara dan Desa Dieng "Dieng Wetan" di Wonosobo. Ketinggian dataran berada pada 1600 sampai 2100 mdpl dengan arah aliran permukaan ke barat daya,[1] menuju ke lembah Sungai Serayu. Dengan suhu udara berkisar 12–20 °C di siang hari dan 6–10 °C di malam hari, meskipun pada musim kemarau Juli dan Agustus, suhu udara dapat mencapai 0 °C di pagi hari, iklim di dataran tinggi Dieng termasuk iklim subtropis dan memunculkan embun beku yang oleh penduduk setempat disebut bun upas "embun racun" karena menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian. Meskipun cukup terpencil, dataran tinggi Dieng telah lama menjadi kawasan pemukiman. Sejumlah bangunan peninggalan abad ke-8 masih dapat ditemukan, baik dalam keadaan masih berdiri ataupun telah menjadi reruntuhan. Diperkirakan, bangunan-bangunan ini berasal dari masa Mataram Kuno awal. Terdapat indikasi bahwa penduduk kawasan ini berada pada pengaruh Kerajaan Sunda Galuh kuno sebelum kemudian dikuasai Medang.[butuh rujukan] Pertanian di Dieng menjadi sumber mata pencaharian utama penduduk. Penanaman sayur-mayur khas pegunungan menjadi aktivitas utama, seperti kentang, wortel, lobak, kubis bunga, bit, dan berbagai bawang-bawangan. Dataran tinggi Dieng adalah penghasil kentang terluas di Indonesia. Tanaman klembak dan purwoceng adalah tanaman penyegar yang khas Dieng, karena hanya cocok untuk tumbuh di kawasan ini.
Kita mesti bersyukur hidup di Indonesia, negeri tropis yang cuacanya tidak terlalu panas ataupun dingin. Di banyak negara lain, cuaca dan suhu bisa sangat ekstrim terlalu panas atau terlalu dingin adanya yang menjadi tantangan berat bagi manusia yang hidup di dalamnya. Seperti kita ketahui, suhu terdingin di bumi pernah dirasakan di Kutub Selatan, tepatnya di Stasiun Vostok yang dikelola Rusia. Pada 21 Juli 1983, tempat tersebut pernah mencatat suhu hingga mencapai minus derajat Celcius. Namun begitu, pada dasarnya, stasiun itu bukanlah tinggal permanen. Di banyak tempat di dunia, terdapat permukiman penduduk yang berada di daerah sangat dingin, dan seringkali suhu di kota-kota tersebut mencapai titik yang mungkin tak terbayangkan oleh kita. Berikut ini adalah 8 kota terdingin di dunia yang merupakan tempat hidup manusia, sebagaimana dikutip dari Monumen selamat datang di Verkhoyansk. Foto Becker0804/Wikimedia commons Verkhoyansk, Rusia Penduduk kota ini tak lebih dari orang yang hidup di dinginnya alam liar Siberia. Kota ini didirikan 1638 sebagai pusat pengembangbiakan ternak, serta pertambangan emas dan timah. Terletak 650 km dari kota Yakutsk, dan km dari kutub utara, dulunya Verkhoyansk dipakai sebagai tempat pengasingan para tahanan politik, dari tahun 1860 hingga awal abad 20 karena lokasinya yang begitu dingin. Pada Januari, rata-rata suhunya mencapai minus 14 derajat Celcius, dan Oktober hingga April, suhunya selalu di bawah nol derajat Celcius. Pada 1892, kota kecil ini mencatat suhu ekstrim hingga minus 32 derajat Celcius. Penduduknya selalu menggunakan topi yang terbuat dari bulu hewan, yang menutup kepala, juga jaket tebal. Mereka benar-benar tinggal di rumah jika suhu sungguh tak tertahankan. Hutan di Oymyakon yang tertutup salju dan kabut. Foto Maarten Takens/flickr Oymyakon, Rusia Kota ini penduduknya hanya 800 orang, letaknya sekitar tiga hari perjalanan dengan mobil dari Yakutks. Sekolah-sekolah di kota ini tetap buka meski suhu mencapai minus 12 derajat Celcius. Nama Oymyakon diambil dari nama sumber air panas yang dipakai penduduk selama musim dingin, dengan memecahkan es tebal di atasnya. Pada 6 Februari 1933, suhu di kota ini tercatat mencapai minus 32,3 derajat Celcius. Es yang menyelimuti wilayah International Falls. Foto Rainy Lake/Facebook International Falls, Minnesota, AS Meski tak sedingin seperti dua kota di Rusia, namun kota ini memiliki musim dingin yang panjang dan dingin dengan suhu terdingin mencapai minus 16 derajat Celcius. Suhu berada di 0 derajat hanya selama 60 malam dalam setahun, selebihnya kota ini tertutup salju tebal. Salju di wilayah Fraser. Foto Steve Carlton/flickr Fraser, Colorado Kota kecil ini terletak di ketinggian m dpl di lereng pegunungan Rocky yang dihuni kurang dari penduduk. Fraser adalah salah satu kota paling dingin di Amerika selama musim dingin, dengan suhu rata-rata 0 derajat Celcius. Fraser dan International Falls saling klaim sebagai “Icebox of the Nation” kota es Amerika Serikat. Suhu di International Falls lebih dingin dibanding Fraser pada musim dingin, tapi rata-rata suhu tahunan di Fraser lebih rendah. Lelaki ini bersiap memancing wilayah es Yakuts. Foto Bolot Bochkarev/Visit Yakutsk, Rusia Kota ini dikenal sebagai kota terdingin di dunia. Tempat dengan suhu terdingin di luar Kutub Selatan, ada tak jauh dari Kota Yakutsk di daerah aliran Sungai Yana. Selama musim dingin, rata-rata suhunya berada di bawah 0 derahat Celcius hingga Mei. Di Januari, suhu mencapai minus 28 derajat Celcius. Kota berpenduduk jiwa ini menggantungkan kehidupannya pada industri pertambangan, dan kota ini punya beberapa pusat teater, museum, bahkan kebun binatang. Hell, Norwegia. Foto Tom/flickr Hell, Norwegia Kota Hell, Norwegia dikenal ekstrim karena kombinasi nama dan suhu sub-Arktik. Rata-rata suhu di Januari 2016 adalah minus 4 derajat Celcius. Kota ini populer di kalangan turis, yang datang selama musim dingin untuk selfie di depan stasiun kereta kota. Barrow, Alaska. Foto Zanzabar Photography/flickr Barrow, Alaska Barrow adalah kota paling utara di Amerika yang hanya km dari Kutub Utara, juga berada 514 km di utara lingkaran Arktik. Matahari tenggelam di akhir November dan tak terbit hingga akhir januari. Di musim panas pun, suhu tetap dingin. Kota ini hanya bisa dijangkau melalui udara atau laut. Snag, Yukon, di tahun 1973. Foto RichardBH/Wikimedia Commons Snag, Kanada Terletak di Yukon, Desa Snag ini pernah mencatat suhu hingga minus 62 derajat Celcius pada 3 Februari 1947. Ini merupakan suhu terendah di wilayah Amerika Utara. Suhu rata-rata di Snag adalah 0 derajat Celcius dan terendah minus 12 derajat Celcius. Pastinya, wilayah ini selalu diselimuti musim dingin. Artikel yang diterbitkan oleh
Keunikan budaya dan keadaan alam Kawasan Dataran Tinggi Dieng menjadi daya tarik bagi kunjungan wisatawan nusantara maupun mancanegara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola-pola perjalanan di Kawasan Dataran Tinggi Dieng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola perjalanan wisata ke Kawasan Dataran Tinggi Dieng saat ini masih terpusat pada zona utama kawasan, yakni objek wisata di sekitar Telaga Warna, Telaga Pengilon dan Candi Arjuna. Pola kunjungan wisatawan yang terbentuk ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis atau karakteristik wisatawan yang berkunjung, daya tarik wisata, aksesibilitas, jasa/pelaku pariwisata serta durasi dan aktifitas. Adapun, sebagian besar kunjungan wisatawan ke Dataran Tinggi Dieng merupakan wisatawan nusantara dan diproyeksikan akan terus meningkat jumlahnya, sementara kunjungan wisatawan mancanegara diproyeksikan terus mengalami penurunan.
pola hidup manusia di dataran tinggi dieng adalah